![]() |
SERANG, - Selasa, 24 12 24 Pemerintah berdalih bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hanya akan diterapkan pada barang dan jasa tertentu, khususnya barang mewah, sehingga tidak berdampak signifikan pada masyarakat kecil.
Namun, benarkah kebijakan ini sepenuhnya tidak akan memengaruhi buruh dan pekerja dengan penghasilan rendah?
Aris Sokhibi, Ketua DPC FSB GARTEKS Tangerang Raya, mengungkapkan, Secara teori, barang mewah memang bukan kebutuhan utama bagi mayoritas pekerja. Namun, dalam praktiknya, kenaikan PPN ini berpotensi berdampak luas. Barang dan jasa yang tidak dianggap "mewah" sering kali berada dalam kategori abu-abu. Sebagai contoh, banyak barang sekunder dan bahkan beberapa kebutuhan penting yang masuk dalam daftar kenaikan PPN secara bertahap. Akibatnya, lonjakan harga akan terasa, bahkan pada barang yang dikonsumsi oleh masyarakat umum", ungkapnya.
Lebih lanjut, kenaikan PPN barang mewah sering kali menciptakan efek domino. Misalnya, harga kendaraan atau alat elektronik yang naik akan memengaruhi biaya distribusi barang kebutuhan pokok. Pada akhirnya, beban tersebut tetap akan ditransfer ke konsumen akhir, yaitu masyarakat kelas pekerja.
"Sebagai buruh, kita perlu mempertanyakan: sejauh mana pemerintah benar-benar memastikan bahwa kenaikan PPN ini tidak akan berimbas pada kebutuhan pokok? Apakah ada mekanisme kontrol untuk mencegah harga barang lain ikut naik? Jika tidak, maka kebijakan ini tetap akan menjadi ancaman bagi daya beli buruh, bahkan jika mereka tidak langsung membeli barang mewah" ujar Aris Sokhibi, Ketua DPC FSB GARTEKS Tangerang Raya.
Masih dengan Aris Sokhibi, "Kenaikan UMK 2025 hanya akan menjadi kompensasi semu jika tidak ada pengendalian harga akibat kenaikan PPN.Pemerintah perlu transparan dan konsisten memastikan bahwa kebijakan ini tidak menciptakan beban tambahan bagi buruh, yang sudah cukup tertekan oleh situasi ekonomi yang tidak menentu", pungkasnya.