Yogyakarta, INews45.com - Dalam Ilmu Filsafat istilah Fallacy bukan sesuatu yang asing karena dalam Filsafat tidak lepas dari penggunaan akal atau aktifitas pikiran. Menurut Irving M Copi et al (2014), Fallacy biasa disebut kesesatan atau kekeliruan. Fallacy berasal dari kata fallacia yang berarti deception atau “menipu”. Jadi, sesat pikir (Logical fallacy) adalah jenis argumen yang terlihat benar padahal mengandung kesalahan dalam penalaran. Fallacy memiliki tiga karakteristik, diantaranya:
1. Ada kesalahan logika berpikir
2. Ada dalam argumen
3. Ada kesan “menipu”
Kekeliruan memang sangat sering terjadi pada kehidupan sehari-hari, baik dalam suatu kesimpulan maupun dalam suatu argumentasi dalam intreraksi sosial. Bahkan setingkat regulasi atau kebijkan saja sangat rentan memiliki Fallacy (Kekeliruan) salah satunya yaitu Kebijakan Luar Negeri (Politik Luar Negeri) atau yang sering dikenal dengan Foreign Policy.
Politik luar negeri (Foreign Policy) secara umum, merupakan suatu perangkat untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.
Lantas, seperti apa kekeliruan (Fallacy) dalam Foreign Policy “Teori Perang yang Sah?”
Perang menjadi indikator penting dalam hubungan internasional, karena perang menjadi bagian dari terbentuknya hubungan internasional. kendati demikian, perang adalah sesuatu yang sama sekali tidak dianggap menyenangkan. Namun, dalam sejarah Barat, muncul pertanyaan apakah perang yang mana di dalamnya ada kondisi saling membunuh bisa dibenarkan secara moral guna melindungi dan melestarikan nilai-nilai? Kemudian muncul doktrim dimana perang dianggap Sah dan dapat diterima sehingga adanya Teori Perang yang Adil (Just War Theory). Perang yang dapat dibenarkan (jus bellum iustum).
Teori perang yang adil ini juga tak luput dari suatu fallacy of relevance. Teori ini rentan mengandung Fallacy Argumentum Ad Verecundiam (based on authority), pada kenyataannya banyak negara yang memiliki otoritas yang lebih, paling sering melanggar kerangka tersebut seperti AS dan Rusia.
Dalam teori tersebut perang dapat dianggap sah, jika memenuhi kriteria, sebelum peperangan atau penggunaan kekerasan terjadi, salah satunya kekuasaan. Hanya penguasa yang diakui sah oleh masyarakat yang boleh menggunakan kekerasan yang mematikan atau menyatakan perang. Oleh karena itu, teori ini juga bisa mengandung Fallacy Argumentum ad Baculum (based on force), tak jarang para penguasa memaksakan kehendaknya.
Para tokoh pemikir realis sangat mendukung teori yang berhubungan dengan peperangan, karena mereka percaya konsep moral tidak boleh menjadi dasar untuk menghalangi atau membatasi keinginan dan prilaku suatu negara. Karena keamanan negara harus diutamakan dan juga mengutamakan kepentingannya. Oleh karena itu, dalam hal ini teori perang yang sah, juga kemungkinan besar mengandung Fallacy Argumentum ad Hominem (based on interest), dimana merujuk pada kepentingan. Jadi, kesimpulannya walaupun teori ini bermaksud untuk menciptakan perdamaian dengan adanya peperangan yang mengatasnamakan moral tetapi tetap saja, doktrin dalam teori tersebut mengandung Fallacy (kesesatan atau kekeliruan).
Penulis : Neng Susi – Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta